1/
Sejak awal, aku memang salah. Membiarkan jemariku membalas pesan
masuk darimu. Platform kesukaanmu, yang juga kesukaanku itu menjadikan
aku mengetahui nama lengkapmu. Namamu sempurna, lengkap dengan dua kata yang tak bisa kulupa dan terus kueja.
Diawali dengan konsonan yang indah, diakhiri dengan senyuman dari setiap foto
di beranda. Sejak itu, aku suka padamu.
2/
Sejak awal, aku memang salah. Membiarkan aku berlama-lama
memandangi layar ponsel, menunggu balasan pesan darimu. Kau yang kutunggu,
bukan balasan pesanmu. Aku jatuh kemudian cinta kepadamu. Namun, jawaban tidak
langsung bisa aku dapatkan. Sebab, aku belum terlalu berani untuk menyatakan.
Yang aku lakukan hanya memandangi layar ponsel, menunggu balasan pesan darimu. Kau
yang kutunggu, bukan balasan pesanmu.
3/
Sejak awal, aku memang salah. Menjadikanmu satu-satunya perempuan
yang selalu kurindu. Tepat pada hari ketika kita saling membalas pesan dan
sapa, aku kembali membuat diriku berani untuk mengatakan sesuatu yang klise, “Mau
ketemu, tidak?” Balasan darimu membuatku kembali terjatuh kemudian cinta
kepadamu, “Kenapa tidak?” Selain dua kata dari namamu, dua kata barusan
adalah yang paling aku suka dan aku cinta. Bayangkan saja, jika setiap kali aku
bertanya kepadamu, “Belum makan, kan? Mau makan malam romantis, tidak?”
atau “Mau jalan, nonton, atau sekedar bersantai –tapi hanya kita berdua,
tidak?” Kemudian kau memberikan jawaban yang kutunggu, “Kenapa tidak?”
Disitulah aku akan bersyukur, “Maka ciptaan Tuhan mana lagi yang akan kau
rindukan –selain dia?”
4/
Sejak awal, aku memang salah. Membiarkanmu bercerita perihal segala
kegiatanmu di kota yang katanya istimewa –dan kau adalah yang paling istimewa. Kau
bercerita perihal jalan-jalan di sekitaran Malioboro yang fenomenal itu.
Nongkrong manja dengan teman kampus di cafe hits di kota itu. Tugas
kuliah praktikum atau istilah keperawatan lainnya yang tidak kupaham. Semua aku
dengar kemudian aku ingat. Yang kemudian kau tahu, aku adalah orang yang pandai
mengingat sesuatu dan seseorang. Hingga pada akhirnya, kau bercerita tentang
dia –dia yang selalu membelikanmu kebab tiap malam, yang tidak terlalu kau puja
sebab dia tidak seromantis lelaki lain, namun jika dibandingkan dengan aku, aku
kalah. Sebab, aku memiliki jarak yang cukup jauh denganmu. Aku sadar, sesuatu
yang tidak dimiliki tetapi ia dekat dengan kita, tetap akan mengalahkan sesuatu
yang dimiliki tapi ia jauh dari kita. Malam itu kau berkata, “Aku tidak suka
jarak. Maaf…” Dan malam itu juga aku tidur tidak terlalu nyenyak sambil
mengutuk jarak dan meminta maaf kepada semesta.
5/
Sejak awal, aku memang salah. Menjadikan telingaku sebagai tempat
keluh kesahmu hinggap. Terkadang, ketika bosan, keluh kesahmu terbang menuju
sarang yang kausebut dia –dia yang selalu membelikanmu kebab tiap malam; yang
tidak terlalu kau puja sebab dia tidak seromantis lelaki lain; yang jika
dibandingkan dengan aku, aku kalah. Sebab, aku memiliki jarak yang cukup jauh
denganmu. Jika kau berkata bahwa kau merasa sakit karena tidak terlalu disayang
dia, sebenarnya aku yang harusnya merasa sakit. Bayangkan saja, hampir setiap
malam semenjak balasan chat pertama itu, aku harus mendengarkan cerita
perihal jalan-jalanmu yang kurang romantis, perihal pertengkaranmu dengan dia
namun tidak menjadikan kalian pisah –padahal itu yang aku harapkan, perihal
acara kelulusan atau apalah itu yang di sana kau tidak dianggap karena dia
lebih mementingkan keluarganya daripada kau. Jika pada saat itu aku menjadi kau,
maka akulah orang pertama yang akan berteriak dari atas podium acara kelulusan
itu, “Aku adalah kekasihnya dia. Tolong pujilah dia karena memiliki kekasih
secantik aku!” Memang gila, tapi itu tidak segila aku di sini, mengharapkan
sesuatu yang tidak bisa terjadi. Aku bersimpuh, barangkali kau telah membaca
buku kumpulan cerita Kukila karya M. Aan Mansyur, “Setia adalah pekerjaan
paling baik.”
6/
Sejak awal, aku memang salah. Membuatmu mabuk dengan kata-kataku.
Entah kenapa, aku sangat terobsesi dengan tokoh Rangga dalam film Ada Apa
Dengan Cinta karya Riri Riza. Karakter lelaki puitis lagi misterius menjadikan
sosok Rangga bisa membuat sosok Cinta benci kemudian sayang kepadanya. Hanya
dengan sebuah puisi. Bayangkan, hanya dengan sebuah puisi. Disitulah aku
mengambil kesimpulan, perempuan suka dengan kata-kata –yang seharusnya
dilanjutkan dengan pertemuan, jalan-jalan, makan malam, kemudian saling
mencinta. Aku menginginkan itu semua. Aku menulis puisi, kau membacanya, suka
dengan kata-kataku, suka denganku, kita bertemu, jalan-jalan, makan malam, pada
akhirnya kamu bisa kumiliki dengan lengkap. Namun semua tidak sesuai dengan
yang aku bayangkan. Harusnya kau yang jatuh kemudian cinta dengan keindahan
puisi-puisiku, namun sebenarnya yang terjadi adalah aku yang jatuh kemudian
cinta dengan keindahan foto-fotomu. Terkadang, memandangi sketsa wajah
seseorang lebih lama adalah cara untuk mencintai dengan ikhlas. Entah,
hubungannya apa.
7/
Sejak awal, aku memang salah. Memaksamu untuk merencanakan
pertemuan. Di bandara, aku menginginkan kita bertemu di sana. Tepat setelah
satu pekan kita saling membalas pesan dan sapa, kau datang memenuhi rencana
yang sebenarnya sangat tidak harus dipenuhi. Namun aku akan sangat bangga dan
bahagia. Kau bisa saja bangga dan bahagia, tergantung. Dan pada akhirnya kita
bertemu. Aku jadi ingat dengan tulisan lamaku yang kuberi judul “Akhirnya kita
bertemu.” Menceritakan kisah Gadis, perempuan penyuka senja dan puisi-puisi
patah hati, bertemu dengan seorang penulis Cakra, yang kemudian mereka jatuh
kemudian cinta setelah memenuhi sebuah pertemuan. Gadis dan Cakra sama seperti
kita, berawal dari membalas pesan dan sapa, kemudian saling mambalas kasih dan
cinta. Barangkali tulisan itu adalah ramalan, aku tidak pernah berencana untuk
bertemu siapapun sebelum menyelesaikan tulisan “akhirnya kami bertemu” itu.
Namun ternyata, sekarang aku bisa merencanakan sebuah pertemuan, dan pada
akhirnya benar-benar dipertemukan dengan kamu. Walaupun pada hakikatnya, sejak
awal aku memang salah. Aku memang salah ketika aku harus membiarkan jemariku
membalas pesan masuk darimu; aku memang salah ketika harus membiarkan aku
berlama-lama memandangi layar ponsel, menunggu balasan pesan darimu. Kau yang
kutunggu, bukan balasan pesanmu; aku memang salah ketika harus menjadikanmu
satu-satunya perempuan yang selalu kurindu; aku memang salah ketika
membiarkanmu bercerita perihal segala kegiatanmu di kota yang katanya istimewa
–dan kau adalah yang paling istimewa; aku memang salah ketika membuatmu mabuk
dengan kata-kataku; dan aku memang salah ketika harus memaksamu untuk
merencanakan pertemuan, hingga akhirnya kita bertemu dan seperti ini.
8/
Sejak awal, aku memang salah. Tidak menyuruhmu untuk menjadikan ini
semua benar sehingga aku tidak menyalahkan diri sendiri. Aku berharap kau
menjadikan aku memang tidak salah. Aku berharap, aku berharap..
Lombok, 08-08-2018