Jumat, 10 Januari 2020

AKU MENCINTAI TUBUHMU









i/

Pakaian dalam wanita adalah klimaks dari sebuah naskah pertunjukan. Semua lelaki membayangkan hal yang sama; tertawa sambil menghadap langit, tengkurap di atas tubuh bumi dan menciumi ketiadaan yang bercabang-cabang. Matamu tak mampu menghadap arah yang sama dengan laki-laki. Aku menantikan kehilangan dari mencumbumu setiap malam, sebelum tidur.

ii/

Yang hidup adalah perutmu. Menampung manusia entah laki-laki atau perempuan dan memanggil mereka dengan nama abadi. Sifat laki-laki harusnya dikurung seperti binatang buas. Mereka melihat dari sisi yang tidak dapat terlihat olehmu. Di perut, di paha, dan di kala tidak mengenakan apa-apa. Sebelum masuk ke dalam tubuhmu, hidungku seperti cangkang telur yang dikupas lalu dipecahkan dengan palu dan malu. Semua tentangmu adalah surga; marah tanpa bicara.

iii/

Memasuki bagian tengah adalah scene terbaik dari hidupku. Perlahan, dengan lembut membuka tirai yang masih tertutup rapat. Di sana aku temukan genangan dan kenangan semasa kecil. Memperbaiki rindu, mencampakkan cemas dalam hembusan nafas masing-masing, dan meredam nafsu dengan berkata, “Semua akan baik-baik saja.” Seperti adegan film Bound, dengan pistol penuh peluru menembaki tiap detik dan detak. Ah, aku belum sanggup menguraikan semua cerita.

iv/

Kembali ke masa lalu menjadi bagian terpenting dari mengenang. Sebagian keriput, sebagian lagi segar seperti daging sapi yang merah merekah. Aku mencintai hal tersulit dalam hidup. Orang-orang berkata perihal apa yang dibayangkan kaum Adam, bahwa segala macam tipuan selalu berakhir dengan pujian, dan luka bisa saja dengan mudah dilupa. Mereka tahu, diri mereka adalah buku yang dibaca berulang-ulang, dibolak-balik, ditolak-lagi, dijatuhkan kemudian ditumbuhkan seperti ingatan-ingatan tentang tubuhmu yang kami bacakan. Esoknya, kamu tiba dengan pakaian lebar, kelopak matamu hitam, dan mencari tahu bahagia apa yang didapatkan setelah jatuh cinta.

v/

Aku jatuh cinta dengan sketsa wajah dan tubuhmu. Denganmu, aku mabuk tanpa anggur, aku tenggelam tanpa air laut dan aku menyeberang tanpa jembatan. Bersama tubuhmu aku menyatu, pinggulmu dunia, di bawahnya aku melihat langit. Aroma tubuhmu sepasang pohon rimbun yang tak mampu kutebang dan kulupa. Bulan madu kita adalah bulan ke-13 dari kalender tahunan di kantor tempatmu bekerja. Aku beruntung bisa tidur telanjang. Sambil membayangkan dasar lautan yang gelap, aku menikmati petualangan ini hingga garis akhir masa tua kita. Terima kasih telah mengajarkan dadaku untuk tabah di setiap keterbatasannya. Aku mencintai tubuhmu.

(Ditulis setelah ‘berciuman denganmu’ atau ‘dengan orang lain’ –saya lupa)


Selasa, 11 September 2018

SEJAK AWAL AKU MEMANG SALAH


1/
Sejak awal, aku memang salah. Membiarkan jemariku membalas pesan masuk darimu. Platform kesukaanmu, yang juga kesukaanku itu menjadikan aku mengetahui nama lengkapmu. Namamu sempurna, lengkap dengan dua  kata yang tak bisa kulupa dan terus kueja. Diawali dengan konsonan yang indah, diakhiri dengan senyuman dari setiap foto di beranda. Sejak itu, aku suka padamu.

2/
Sejak awal, aku memang salah. Membiarkan aku berlama-lama memandangi layar ponsel, menunggu balasan pesan darimu. Kau yang kutunggu, bukan balasan pesanmu. Aku jatuh kemudian cinta kepadamu. Namun, jawaban tidak langsung bisa aku dapatkan. Sebab, aku belum terlalu berani untuk menyatakan. Yang aku lakukan hanya memandangi layar ponsel, menunggu balasan pesan darimu. Kau yang kutunggu, bukan balasan pesanmu.

3/
Sejak awal, aku memang salah. Menjadikanmu satu-satunya perempuan yang selalu kurindu. Tepat pada hari ketika kita saling membalas pesan dan sapa, aku kembali membuat diriku berani untuk mengatakan sesuatu yang klise, “Mau ketemu, tidak?” Balasan darimu membuatku kembali terjatuh kemudian cinta kepadamu, “Kenapa tidak?” Selain dua kata dari namamu, dua kata barusan adalah yang paling aku suka dan aku cinta. Bayangkan saja, jika setiap kali aku bertanya kepadamu, “Belum makan, kan? Mau makan malam romantis, tidak?” atau “Mau jalan, nonton, atau sekedar bersantai –tapi hanya kita berdua, tidak?” Kemudian kau memberikan jawaban yang kutunggu, “Kenapa tidak?” Disitulah aku akan bersyukur, “Maka ciptaan Tuhan mana lagi yang akan kau rindukan –selain dia?”

4/
Sejak awal, aku memang salah. Membiarkanmu bercerita perihal segala kegiatanmu di kota yang katanya istimewa –dan kau adalah yang paling istimewa. Kau bercerita perihal jalan-jalan di sekitaran Malioboro yang fenomenal itu. Nongkrong manja dengan teman kampus di cafe hits di kota itu. Tugas kuliah praktikum atau istilah keperawatan lainnya yang tidak kupaham. Semua aku dengar kemudian aku ingat. Yang kemudian kau tahu, aku adalah orang yang pandai mengingat sesuatu dan seseorang. Hingga pada akhirnya, kau bercerita tentang dia –dia yang selalu membelikanmu kebab tiap malam, yang tidak terlalu kau puja sebab dia tidak seromantis lelaki lain, namun jika dibandingkan dengan aku, aku kalah. Sebab, aku memiliki jarak yang cukup jauh denganmu. Aku sadar, sesuatu yang tidak dimiliki tetapi ia dekat dengan kita, tetap akan mengalahkan sesuatu yang dimiliki tapi ia jauh dari kita. Malam itu kau berkata, “Aku tidak suka jarak. Maaf…” Dan malam itu juga aku tidur tidak terlalu nyenyak sambil mengutuk jarak dan meminta maaf kepada semesta.

5/
Sejak awal, aku memang salah. Menjadikan telingaku sebagai tempat keluh kesahmu hinggap. Terkadang, ketika bosan, keluh kesahmu terbang menuju sarang yang kausebut dia –dia yang selalu membelikanmu kebab tiap malam; yang tidak terlalu kau puja sebab dia tidak seromantis lelaki lain; yang jika dibandingkan dengan aku, aku kalah. Sebab, aku memiliki jarak yang cukup jauh denganmu. Jika kau berkata bahwa kau merasa sakit karena tidak terlalu disayang dia, sebenarnya aku yang harusnya merasa sakit. Bayangkan saja, hampir setiap malam semenjak balasan chat pertama itu, aku harus mendengarkan cerita perihal jalan-jalanmu yang kurang romantis, perihal pertengkaranmu dengan dia namun tidak menjadikan kalian pisah –padahal itu yang aku harapkan, perihal acara kelulusan atau apalah itu yang di sana kau tidak dianggap karena dia lebih mementingkan keluarganya daripada kau. Jika pada saat itu aku menjadi kau, maka akulah orang pertama yang akan berteriak dari atas podium acara kelulusan itu, “Aku adalah kekasihnya dia. Tolong pujilah dia karena memiliki kekasih secantik aku!” Memang gila, tapi itu tidak segila aku di sini, mengharapkan sesuatu yang tidak bisa terjadi. Aku bersimpuh, barangkali kau telah membaca buku kumpulan cerita Kukila karya M. Aan Mansyur, “Setia adalah pekerjaan paling baik.”

6/
Sejak awal, aku memang salah. Membuatmu mabuk dengan kata-kataku. Entah kenapa, aku sangat terobsesi dengan tokoh Rangga dalam film Ada Apa Dengan Cinta karya Riri Riza. Karakter lelaki puitis lagi misterius menjadikan sosok Rangga bisa membuat sosok Cinta benci kemudian sayang kepadanya. Hanya dengan sebuah puisi. Bayangkan, hanya dengan sebuah puisi. Disitulah aku mengambil kesimpulan, perempuan suka dengan kata-kata –yang seharusnya dilanjutkan dengan pertemuan, jalan-jalan, makan malam, kemudian saling mencinta. Aku menginginkan itu semua. Aku menulis puisi, kau membacanya, suka dengan kata-kataku, suka denganku, kita bertemu, jalan-jalan, makan malam, pada akhirnya kamu bisa kumiliki dengan lengkap. Namun semua tidak sesuai dengan yang aku bayangkan. Harusnya kau yang jatuh kemudian cinta dengan keindahan puisi-puisiku, namun sebenarnya yang terjadi adalah aku yang jatuh kemudian cinta dengan keindahan foto-fotomu. Terkadang, memandangi sketsa wajah seseorang lebih lama adalah cara untuk mencintai dengan ikhlas. Entah, hubungannya apa.

7/
Sejak awal, aku memang salah. Memaksamu untuk merencanakan pertemuan. Di bandara, aku menginginkan kita bertemu di sana. Tepat setelah satu pekan kita saling membalas pesan dan sapa, kau datang memenuhi rencana yang sebenarnya sangat tidak harus dipenuhi. Namun aku akan sangat bangga dan bahagia. Kau bisa saja bangga dan bahagia, tergantung. Dan pada akhirnya kita bertemu. Aku jadi ingat dengan tulisan lamaku yang kuberi judul “Akhirnya kita bertemu.” Menceritakan kisah Gadis, perempuan penyuka senja dan puisi-puisi patah hati, bertemu dengan seorang penulis Cakra, yang kemudian mereka jatuh kemudian cinta setelah memenuhi sebuah pertemuan. Gadis dan Cakra sama seperti kita, berawal dari membalas pesan dan sapa, kemudian saling mambalas kasih dan cinta. Barangkali tulisan itu adalah ramalan, aku tidak pernah berencana untuk bertemu siapapun sebelum menyelesaikan tulisan “akhirnya kami bertemu” itu. Namun ternyata, sekarang aku bisa merencanakan sebuah pertemuan, dan pada akhirnya benar-benar dipertemukan dengan kamu. Walaupun pada hakikatnya, sejak awal aku memang salah. Aku memang salah ketika aku harus membiarkan jemariku membalas pesan masuk darimu; aku memang salah ketika harus membiarkan aku berlama-lama memandangi layar ponsel, menunggu balasan pesan darimu. Kau yang kutunggu, bukan balasan pesanmu; aku memang salah ketika harus menjadikanmu satu-satunya perempuan yang selalu kurindu; aku memang salah ketika membiarkanmu bercerita perihal segala kegiatanmu di kota yang katanya istimewa –dan kau adalah yang paling istimewa; aku memang salah ketika membuatmu mabuk dengan kata-kataku; dan aku memang salah ketika harus memaksamu untuk merencanakan pertemuan, hingga akhirnya kita bertemu dan seperti ini.

8/
Sejak awal, aku memang salah. Tidak menyuruhmu untuk menjadikan ini semua benar sehingga aku tidak menyalahkan diri sendiri. Aku berharap kau menjadikan aku memang tidak salah. Aku berharap, aku berharap..

Lombok, 08-08-2018

Jumat, 16 Februari 2018

BEBERAPA HAL YANG KUDAPAT SETELAH (PERNAH) MENCINTAIMU



Aku ingin menjadi orang yang kesehariannya jarang bicara. Segala kata memiliki porsi yang sama; tak ada, bedanya. Beberapa hal yang ingin aku bicarakan denganmu, tapi karena aku akan dan sudah berjanji ingin menjadi orang yang kesehariannya jarang biacara, maka akan aku tuliskan saja. Beberapa kata akan sulit untuk dipahami, sama seperti alasan kenapa kamu pergi, atau pernyataan-pernyataan lain yang tak jelas maksudnya.
Hari ini tepat empat bulan setelah hari ulang tahunmu. Aku masih ingat, hari itu tidak ada yang bisa aku berikan kecuali puisi ucapan selamat ulang tahun. Aku sudah memberitahu lewat pesan singkat terakhirku, “Aku hanya bisa menulis.” Bersamaku, barangkali kau akan berjalan tanpa alas kaki dan harapan.
1.   Darimu aku belajar mencintai. Setiap hari adalah cinta. Tergantung, siapa dan kapan. Apa dan di mana. Kenapa dan bagaimana. Sedangkan berapa selalu tidak punya pasangan. Sebab, cinta tak pernah ternilai dan tidak berjumlah. Itulah alasan kenapa aku sering bertanya, siapa orang selain aku dan kapan kamu mulai mencintaiku? Apa yang kamu dapatkan dari mencintaiku dan di mana saja kamu akan mencintaiku, apakah hanya di taman, di kamar, atau dicium? Kenapa bisa mencintaiku dan bagaimana caramu mencintaiku? Percayalah, itu adalah rumus mencintaimu.
2.      Ketakutan yang berlebihan. “Aku baik-baik saja” adalah kalimat yang membuat siapa pun di dunia ini menjadi parno. Di Paris, Jepang, Mesir, di Negara-negara yang kita berdua idamkan untuk sekedar berlibur ke sana. Begini kata mereka setelah melihat foto romantis kita berdua: “Semua yang kalian miliki bukanlah sepenuhnya akan kalian miliki, sebagian akan kembali pada dada masing-masing dan sebagian lainnya akan membuat kalian sedih.” Aku teringat dengan ucapan mama saat masih kecil, ketika aku belum mengetahui wujud asli dari angin adalah ingin, dan hubungan tidak akan terasa asyik tanpa ada sentuhan fisik, “Semua yang dari tanah akan kembali pada tanah.” Aku menyimpulkan, hati juga akan seperti itu. Titik! Pada saat yang sama aku mengingat kembali dua hal yang lebih aku takutkan di antara ketakutan yang berlebihan.
3.      Terkadang sendiri itu berdua. Apa yang kamu lakukan ketika rindu? Aku, tentu saja mengingatmu. Selepas kepergianmu, ingatanku seperti jalan raya. Sesekali menjadi kemacetan karena banyak mobil dan bus di sana. Terlalu macet juga aku tidak suka. Ingatanku takkan mampu menahan bising klakson mobil yang melengking bergantian. Aku paling suka membayangkan kamu mengendarai Honda Jazz warna kuning dan aku menunggumu sebagai tukang parkir yang siap menuntunmu ke tempat persinggahan paling sederhana. Dengan begitu, memikirkanmu berulang-ulang, aku tidak pernah merasa kesepian datang menemuiku dengan pelukan paling erat. Mengingatmu adalah caraku memilikimu kembali.
4.      Berbohong. Ketika mencintaimu, terkadang aku memilih bungkam dari pada harus berkata -tidak benar. Seperti pertanyaan-pertanyaan “apakah itu benar?” Tentu jawabannya adalah tidak benar. Musim hujan seperti iklan radio yang didengarkan berulang-ulang tanpa jeda dan cemas. Sama seperti kebohongan-kebohongan yang terbongkar setelah burung itu keluar dari sangkar besinya. Aku membayangkan pertanyaanmu  menjadikanku seperti burung dengan majikan yang memberi minum setiap pagi. Aku berkicau karena takut tidak diberi minum. Terkadang, berbohong adalah belajar mencintai dengan tulus.
5.      Cinta diam-diam dan diam-diam cinta. Cinta adalah perihal kepemilikan; hak dan kewajiban. Cinta itu suara. Aku, lebih memilih untuk cinta diam-diam dan diam-diam cinta. Kepemilikan menjadi alasan kenapa aku memilih cinta diam-diam. Dan kehilangan selalu mengajarkan untuk diam-diam cinta. Kenapa, padahal cinta itu suara? Masa-masa yang indah untuk dikenang adalah awal pertemuan. Sebelum berpisah, ada masa di mana cinta diam-diam adalah raja. Dan pada akhirnya diam-diam cinta menjadi satu-satunya kalimat yang terucap di mulutku seperti janji-janji manis setahun sebelum ulang tahunmu. Aku sadar, kepemilikan dan kehilangan adalah hewan piaraan yang setia; menunggu sebelum hatimu patah, dan tetap menunggu setelah hatimu patah. Cinta itu suara. Aku, lebih memilih untuk cinta diam-diam dan diam-diam cinta.
6.      Terakhir, Mengikhlaskan.  Mataku mendung atau segala bahagia yang dibuatnya kelabu. Lengan kokoh yang kaukatakan tidak lagi menjadi lokomotif yang menuntunmu menuju stasiun terakhir. Ini kisah kita. Puisi selalu menjadi kata-kata indah yang diucapkan di akhir pertemuan. Tidurmu, bangunmu, dan setiap hembusan nadi menjanjikan segala kebahagiaan setiap detaknya. Aku yang mendatangi rumah dan resahmu, memasuki kamar dan jantungmu, dan tidur di atas ranjang berselimutkan namamu. Semua hal bahagia, berkumpul dalam ingatanku; puisi, matamu, juga orang yang menyimpan fotomu di dalam dompet. Aku bahagia bisa mencintaimu. Aku bahagia bisa menciummu. Dan aku bahagia bisa mengikhlaskanmu.

Aku belum cukup kuat untuk menulis semua yang kudapatkan setelah (pernah) mencintaimu. Aku juga sengaja membuat diriku terjebak dalam ingatan yang berisikan tentangmu. Semua! Perihal siapa yang dilupa dan siapa yang melupakan adalah perkara takdir; dengan siapa aku berbahagia dan kamu tidak perlu mencari tahu semua garis ini. 
Setelah membaca beberapa hal yang kudapat setelah (pernah) mencintaimu, ada satu hal yang perlu diketahui, fase mencintai seseorang adalah, belajar mencintai – takut (kehilangan) yang berlebihan – berbohong – cinta diam-diam dan diam-diam cinta – dan harus bisa mengikhlaskan.

Lombok, 2018

Kamis, 15 Februari 2018

SELEPAS HUJAN



//
Selepas hujan ada banyak kalimat majemuk mengembun di kaca jendela kamar. Tidak banyak yang bisa dilakukan hujan selain menyentuh bait terakhir sajak perpisahan. Seorang anak yatim-piatu pernah mengambil sisa kepura-puraan dari pemakaman orang tuanya dan membunyikannya seperti lonceng sekolah. Ia bertanya-tanya perihal hutan dan hujan yang ia rangkai menjadi beberapa hari yang akan ia lalui, sendirian. Tidak ada yang ia takutkan selain tanda kutip pada kalimat langsung kehilangan nama-namanya. Setiap detik ia percaya jiwa puisi akan abadi dalam keringat dan air mata. Orang tua adalah sepasang sayap malaikat yang bergetar jika mendengar rintihan perihnya. Doa dan usaha tidak butuh makan. Baginya, setengah mati adalah istilah yang digunakan orang-orang separuh ikhlas.

//
Selepas hujan ia ingin menceritakan kesibukannya perihal merayakan hutang yang sudah setahun belum dibayar. Di dalam kalimat majemuk yang mengembun di kaca jendela kamar, ada beberapa kata yang sulit dijelaskan nalar. Entah itu tangisan bayi di dalam rahin atau aroma kesedihan yang berkali-kali mati kemudian hidup kembali. Adalah anak yatim-piatu menghitung ingatan-ingatan tentang ayah dan ibunya. Siapa lagi yang akan menyisir rambutnya dan mengikat tali sepatu ketika berangkat sekolah? Siapa lagi yang akan memberikan sangu dan wejangan hidup tiap hari sabtu? Kelak, mimpi-mimpinya menabrak apa pun yang ada di hadapan seperti lelucon masa kecil yang tak bisa membuatnya berhenti tertawa.

//
Selepas hujan ia mengingat kembali kata-kata yang sudah tidak berkeluarga. Dihiasi dengan ikat kepala ia berseru kepada angin yang murah hati dan jiwanya. Seperti ibu bilang, katanya, sebagian orang akan sedikit melawan kesedihan dan menurunkan secara perlahan dari pundaknya. Sebagiannya lagi akan memakan dengan lahap dan menelannya hingga sampai ke kaki. Ia tidak memilih dua-duanya, yang ia lakukan hanya menaklukkan malam, menjatuhkannya hingga pagi menjelang, dan hujan selalu turun sore hari menjadikan air matanya banjir seperti pertama kali ia tidak lagi melihat dirinya sendiri.

Lombok, 2018