Kamis, 15 Februari 2018

SELEPAS HUJAN



//
Selepas hujan ada banyak kalimat majemuk mengembun di kaca jendela kamar. Tidak banyak yang bisa dilakukan hujan selain menyentuh bait terakhir sajak perpisahan. Seorang anak yatim-piatu pernah mengambil sisa kepura-puraan dari pemakaman orang tuanya dan membunyikannya seperti lonceng sekolah. Ia bertanya-tanya perihal hutan dan hujan yang ia rangkai menjadi beberapa hari yang akan ia lalui, sendirian. Tidak ada yang ia takutkan selain tanda kutip pada kalimat langsung kehilangan nama-namanya. Setiap detik ia percaya jiwa puisi akan abadi dalam keringat dan air mata. Orang tua adalah sepasang sayap malaikat yang bergetar jika mendengar rintihan perihnya. Doa dan usaha tidak butuh makan. Baginya, setengah mati adalah istilah yang digunakan orang-orang separuh ikhlas.

//
Selepas hujan ia ingin menceritakan kesibukannya perihal merayakan hutang yang sudah setahun belum dibayar. Di dalam kalimat majemuk yang mengembun di kaca jendela kamar, ada beberapa kata yang sulit dijelaskan nalar. Entah itu tangisan bayi di dalam rahin atau aroma kesedihan yang berkali-kali mati kemudian hidup kembali. Adalah anak yatim-piatu menghitung ingatan-ingatan tentang ayah dan ibunya. Siapa lagi yang akan menyisir rambutnya dan mengikat tali sepatu ketika berangkat sekolah? Siapa lagi yang akan memberikan sangu dan wejangan hidup tiap hari sabtu? Kelak, mimpi-mimpinya menabrak apa pun yang ada di hadapan seperti lelucon masa kecil yang tak bisa membuatnya berhenti tertawa.

//
Selepas hujan ia mengingat kembali kata-kata yang sudah tidak berkeluarga. Dihiasi dengan ikat kepala ia berseru kepada angin yang murah hati dan jiwanya. Seperti ibu bilang, katanya, sebagian orang akan sedikit melawan kesedihan dan menurunkan secara perlahan dari pundaknya. Sebagiannya lagi akan memakan dengan lahap dan menelannya hingga sampai ke kaki. Ia tidak memilih dua-duanya, yang ia lakukan hanya menaklukkan malam, menjatuhkannya hingga pagi menjelang, dan hujan selalu turun sore hari menjadikan air matanya banjir seperti pertama kali ia tidak lagi melihat dirinya sendiri.

Lombok, 2018

2 komentar: